MAAF
MEMBUATMU TERLUKA, IBU!
Desiran ombak pantai yang menerjang hebat dipesisir
pantai membuat aku tersentak dari lamunan. Indah! Sangat indah pantai ini,
begitu asri dan sesekali ombaknya menyentuh kakiku seakan ingin mengajakku ikut
ia kembali kelaut. Pandangan ku terus saja kedepan, kearah luasnya lautan
berharap bisa menyelami keindahan didalamnya, menyentuh dasar dan mengitari
seisi laut. Kakiku begitu kokoh tegap bertahan untuk berdiri dipesisir, seakan
begitu betah menerima sentuhan ombak. Sesekali jemari-jemari ini membelai rambut,
menata kembali setelah berantakan tertiup angin.
Aku tak lagi merasakan tetesan air bening diwajah ini, yang terasa hanyalah
belaian lembut sang angin. Lagi-lagi lamunanku tersentak, tapi kali ini aku
disadarkan oleh teriakan Oca dikejauhan memanggil-manggil nama ku. Ku akhiri
semuanya, aku melangkah menuju kearah tepat dimana Oca berada. Kami bergegas
mengemasi bekal-bekal, memasukkan semua perlengkapan ke bagasi mobil.
Sebenarnya kaki ini sangat berat untuk melangkah meninggalkan keindahan ini dan
kembali kerumah itu, rumah yang seharusnya tidak ada aku disana.
“Oh Tuhan… aku tak ingin kembali! Aku malu!”, batin ku menyesali semuanya.
Berdecit ban mobil terhenti begitu saja saat Oca menginjak rem mendadak, ternyata mobil itu sudah berhenti tepat di depan rumah ku. Aku terdiam tak mengeluarkan sepatah katapun dan tak ada gerakan ku lakukan yang menandakan aku akan turun dari mobil Oca. Aku terus saja terdiam hingga Oca menstarter kembali mobilnya dan melaju kearah rumahnya.
“tidurlah disini malam ini!” Oca memberikan selimut untukku saat kami sudah dikamarnya.
“makasih!” ku rebahkan badan yang memang terasa lelah.
Oca tahu apa yang kurasakan, karena itulah ia tak mengajukan pertanyaan saat aku memilih diam dimobil daripada turun masuk kerumah, dan Oca juga lah yang punya ide untuk jalan ke pantai liburan hari ini. Aku terlelap hingga jam 10 pagi dengan keletihan yang menggelayut di tengkukku. Aku tak melihat Oca saat terbangun, tentu saja dia sudah berangkat sekolah. Ini adalah hari ketiga aku bolos sekolah, dan hari ketiga juga aku tak menginjakkan kaki dirumah. Perlahan aku menuruni tangga menuju meja makan, ku lihat sudah tersedia sarapan pagi dengan susu. Rumah Oca kosong, orang tuanya sibuk bekerja diluar kota, jadi ia hanya tinggal berdua dengan Alex, seorang pria berusia 3 tahun diatasnya, pria tampan itu adalah satu-satunya abang yang dimiliki nya. Sikap Alex tak setampan wajahnya, Alex terlalu berandalan dan jarang sekali ia pulang kerumah. Aku terus menyantap hidangan yang tersedia didepanku, tapi pandangan ku terus saja menatap tajam pada foto yang terpampang didinding ruang tamu itu, foto yang tampak begitu mempesona, foto yang membuat aku meneteskan air mata saat itu juga.
“sudah lah, jangan kau pandangi terus ! nggak ada gunanya!” suara parau itu terdengar melarangku terus-terusan memandangi foto itu. Aku menoleh dan ternyata suara itu adalah milik Evan, teman sekelasku.
Evan datang menjenguk keadaanku, ia mengikuti Oca. Hari ini ada rapat guru, jadi pulang agak dipercepat. Waktu terasa berputar sangat cepat, tak terasa mentari mulai menyembunyikan dirinya dan bergantian dengan sang bulan. Aku melirik jam dinding yang menunjukkan sudah jam tujuh malam. Tiba-tiba Evan menarik lenganku, memaksa ku berdiri dan mengikutinya. Aku bingung, tak sepatah katapun kelaur dari mulutnya, terus saja ia menarik pergelangan tanganku, membawa ku menuju motornya, memaksaku naik dan mengikutinya. Evan seakan menjadi gila, mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Aku memeluknya erat. Tiba-tiba motor itu berhenti, aku melihat disekitar, aku protes. Jantungku mulai berdetak kencang,nafasku terasa sesak dan jemari-jemariku terasa dingin.
“Evan, please bawa aku pergi dari sini!” keluhku menundukkan kepala, menempelkan jidatku tepat di punggung Evan.
“masuklah!”. Suara Evan terdengar serius, tak memberiku peluang untuk menolak.
Seketika itu juga Evan turun dari motor dan menarik tanganku, memaksa aku masuk kerumah itu, rumah yang aku takutkan. Evan menstarter motornya lalu pergi meninggalkanku.
“Evan, please jangan tinggalin aku disini!” aku menjerit hebat saat Evan meninggalkanku sendiri.
Jeritanku membuat penghuni rumah itu keluar dan melihat ku dalam keadaan terduduk di tanah. Seorang wanita setengah baya membawa ku masuk kerumah itu, dan mengantarku masuk ke kamar. Sebuah ruangan yang dulu pernah menjadi milikku, tapi itu dulu. Hatiku semakin sesak, tak terasa air mata ini mengalir lebih deras lagi saat aku melihat foto wanita setengah baya itu bersama seorang gadis, foto yang terlihat sangat bahagia dan nyata. Aku terduduk, mata ini tak lagi bisa berkedip, isakan tangisku yang semakin menjadi-jadi membuat aku tak sadarkan diri dilantai hingga pagi menyapa.
“sayang, buka pintunya dong! Ini makan dulu!” wanita setengah baya itu mengetuk pintu kamarku, namun aku bersikeras tak ingin membukanya.
Wanita itu terus saja mengetuk pintu kamar hingga rasa putus asapun menyentuh jiwanya, membuatnya menyerah dan meninggalkan pintu kamar ku.
“aku malu!!!” jerit ku yang membuat wanita itu menghentikan langkahnya. Tetesan air matapun membasahi wajahnya yang sudah mulai bergaris-bergaris usia. Wanita itu melanjutkan langkahnya, seakan ingin menahan rasa yang menyakitkannya.
Kini ku lontarkan pandangan kearah luar jendela, ku melangkah mendekati jendela itu. Pikiranku seakan-akan membawaku untuk mengingat kembali peristiwa 3 hari yang lalu. Peristiwa yang membuatku dihantui rasa takut, rasa malu dan rasa muak, semua bercampur jadi satu.
“dia anakku!, bukan anakmu! Kau tak berhak merebut dia dari ku! Ingat, kau telah membuangnya di pinggir jalan!”. Wanita setengah baya itu terdengar menahan amarah. Entah apa yang dikatakan oleh orang disebeang sana, yang membuat wanita itu menangis dan membanting telepon dengan tangan yang bergetar.
Aku memang masih duduk di bangku SMU kelas dua, tapi kurasa itu usia yang cukup untuk mengetahui sebuah rahasia. Rahasia yang sangat menyiksa, sebuah kenyataan yang membuat aku takut untuk hidup. “kau bukan anak kandung ibu! Tapi ibu sangat menyayangi mu, percayalah!” kata-kata itu membuat aku rapuh, saat itu juga aku tak lagi bertindak menggunakan logika. “aku anak yang tak diharapkan oleh orang tua ku sendiri!” batin ku mengutuk. Aku berlari, terus berlari hingga pelarianku terhenti dirumah Oca. Berlari kerumah Oca saat itu adalah kesalahan terbesarku. Oca tak berada dirumah, saat itu hanya ada Alex yang sedang menikmati minuman alkhohol. Hati ku galut, air mata tak lagi terbendung, aku terpuruk dalam kenyataan pahit, “anak pungut!” gumamku pelan membuat Alex menawarkan pundaknya untukku bersandar dan menyuguhkan minuman terlarang itu pada ku.
Jiwaku berontak, namun hati ini tak lagi sanggup menahan kepedihan itu. Aku meneguknya, menikmati minuman itu seakan-akan aku pernah minum sebelumnya. Malam semakin larut, dinginnya cuaca diluar dan hangatnya suasana didalam membuat aku dan Alex larut dalam pelukan Iblis. Aku tak sadar apa yang terjadi, yang ku tahu saat terbangun, aku tak lagi mengenakan sehelai pakaianpun. Aku semakin galut, ku lihat Alex tak berada disampingku. Pintu berderit terbuka, Oca. Wanita itu mendekatiku, menyodorkan pakaian untukku.
“kau melakukannya? Dengan kakak ku?”
“aku …… takut!!” hanya itu yang bisa ku katakan pada sahabatku itu.
“maaf!! Seharusnya semalam aku dirumah, seharusnya aku bisa mencegah semua ini! Sialan lho Lex!!” terdengar Oca seakan menyalahkan dirinya dan mengutuk Alex.
“Plakkk…”
Aku tersentak, jendela didepanku tertiup angin hingga membantai kusen. Aku berhenti mengingat peristiwa menyakitkan itu. Aku sangat takut menghadapi semua ini, aku malu pada ibu. Bagaimana mungkin aku bisa mengaku padanya bahwa anak yang telah dibesarkannya susah payah ini telah kotor! Bahkan aku malu pada bumi telah mengotorinya dengan darahku ini. Aku benar-benar anak yang tak tahu berterimakasih, setelah aku diangkat, dibesarkan dengan kasih sayang oleh ibu yang bukan ibu kandungku, sekarang aku hanya akan membuatnya terluka dengan pernyataan ku ini.
“Oh Tuhan, masih pantaskah aku hidup bergelimang dosa seperti ini??” batinku pasrah lalu menuruni tangga menghampiri ibu di teras depan.
“ibu maafkan aku! Terimakasih karena telah merawat dan menganggap aku anak mu. Aku sayang padamu ibu!.” Aku memeluk erat tubuh satu-satunya ibu yang ku tahu.
“aku mau kerumah Oca!” lanjutku pamit pada ibu dengan nada yang terdengar tegar walaupun sebenarnya rapuh.
“hati-hati sayang!”
Aku melaju mengendarai Vespa ibu, pikiranku kalut, pandanganku berkabut, tiba-tiba jalanan terasa sepi, tak ada lalu lalang kendaraan, tak ada jeritan-jeritan orang menjajakan makanan dan Koran, sepi…sangat sepi… aku terus melaju, kecepatan semakin bertambah hingga akhirnya ku rasakan tubuh ini melayang dan terlempar jauh, entahlah….ku tak tahu lagi apa yang terjadi.
Saat ini Yang ku tahu adalah aku berdiri tegak menyaksikan ceceran darah dimana-mana, kerumunan orang-orang menyaksikan sesosok tubuh yang terbaring tak berdaya, tubuh dengan mimic wajah yang pasrah, sesosok tubuh yang ditangisi oleh seorang wanita setengah baya. Yang ku tahu adalah aku tak akan membuat ibu terluka lagi.
“Oh Tuhan… aku tak ingin kembali! Aku malu!”, batin ku menyesali semuanya.
Berdecit ban mobil terhenti begitu saja saat Oca menginjak rem mendadak, ternyata mobil itu sudah berhenti tepat di depan rumah ku. Aku terdiam tak mengeluarkan sepatah katapun dan tak ada gerakan ku lakukan yang menandakan aku akan turun dari mobil Oca. Aku terus saja terdiam hingga Oca menstarter kembali mobilnya dan melaju kearah rumahnya.
“tidurlah disini malam ini!” Oca memberikan selimut untukku saat kami sudah dikamarnya.
“makasih!” ku rebahkan badan yang memang terasa lelah.
Oca tahu apa yang kurasakan, karena itulah ia tak mengajukan pertanyaan saat aku memilih diam dimobil daripada turun masuk kerumah, dan Oca juga lah yang punya ide untuk jalan ke pantai liburan hari ini. Aku terlelap hingga jam 10 pagi dengan keletihan yang menggelayut di tengkukku. Aku tak melihat Oca saat terbangun, tentu saja dia sudah berangkat sekolah. Ini adalah hari ketiga aku bolos sekolah, dan hari ketiga juga aku tak menginjakkan kaki dirumah. Perlahan aku menuruni tangga menuju meja makan, ku lihat sudah tersedia sarapan pagi dengan susu. Rumah Oca kosong, orang tuanya sibuk bekerja diluar kota, jadi ia hanya tinggal berdua dengan Alex, seorang pria berusia 3 tahun diatasnya, pria tampan itu adalah satu-satunya abang yang dimiliki nya. Sikap Alex tak setampan wajahnya, Alex terlalu berandalan dan jarang sekali ia pulang kerumah. Aku terus menyantap hidangan yang tersedia didepanku, tapi pandangan ku terus saja menatap tajam pada foto yang terpampang didinding ruang tamu itu, foto yang tampak begitu mempesona, foto yang membuat aku meneteskan air mata saat itu juga.
“sudah lah, jangan kau pandangi terus ! nggak ada gunanya!” suara parau itu terdengar melarangku terus-terusan memandangi foto itu. Aku menoleh dan ternyata suara itu adalah milik Evan, teman sekelasku.
Evan datang menjenguk keadaanku, ia mengikuti Oca. Hari ini ada rapat guru, jadi pulang agak dipercepat. Waktu terasa berputar sangat cepat, tak terasa mentari mulai menyembunyikan dirinya dan bergantian dengan sang bulan. Aku melirik jam dinding yang menunjukkan sudah jam tujuh malam. Tiba-tiba Evan menarik lenganku, memaksa ku berdiri dan mengikutinya. Aku bingung, tak sepatah katapun kelaur dari mulutnya, terus saja ia menarik pergelangan tanganku, membawa ku menuju motornya, memaksaku naik dan mengikutinya. Evan seakan menjadi gila, mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Aku memeluknya erat. Tiba-tiba motor itu berhenti, aku melihat disekitar, aku protes. Jantungku mulai berdetak kencang,nafasku terasa sesak dan jemari-jemariku terasa dingin.
“Evan, please bawa aku pergi dari sini!” keluhku menundukkan kepala, menempelkan jidatku tepat di punggung Evan.
“masuklah!”. Suara Evan terdengar serius, tak memberiku peluang untuk menolak.
Seketika itu juga Evan turun dari motor dan menarik tanganku, memaksa aku masuk kerumah itu, rumah yang aku takutkan. Evan menstarter motornya lalu pergi meninggalkanku.
“Evan, please jangan tinggalin aku disini!” aku menjerit hebat saat Evan meninggalkanku sendiri.
Jeritanku membuat penghuni rumah itu keluar dan melihat ku dalam keadaan terduduk di tanah. Seorang wanita setengah baya membawa ku masuk kerumah itu, dan mengantarku masuk ke kamar. Sebuah ruangan yang dulu pernah menjadi milikku, tapi itu dulu. Hatiku semakin sesak, tak terasa air mata ini mengalir lebih deras lagi saat aku melihat foto wanita setengah baya itu bersama seorang gadis, foto yang terlihat sangat bahagia dan nyata. Aku terduduk, mata ini tak lagi bisa berkedip, isakan tangisku yang semakin menjadi-jadi membuat aku tak sadarkan diri dilantai hingga pagi menyapa.
“sayang, buka pintunya dong! Ini makan dulu!” wanita setengah baya itu mengetuk pintu kamarku, namun aku bersikeras tak ingin membukanya.
Wanita itu terus saja mengetuk pintu kamar hingga rasa putus asapun menyentuh jiwanya, membuatnya menyerah dan meninggalkan pintu kamar ku.
“aku malu!!!” jerit ku yang membuat wanita itu menghentikan langkahnya. Tetesan air matapun membasahi wajahnya yang sudah mulai bergaris-bergaris usia. Wanita itu melanjutkan langkahnya, seakan ingin menahan rasa yang menyakitkannya.
Kini ku lontarkan pandangan kearah luar jendela, ku melangkah mendekati jendela itu. Pikiranku seakan-akan membawaku untuk mengingat kembali peristiwa 3 hari yang lalu. Peristiwa yang membuatku dihantui rasa takut, rasa malu dan rasa muak, semua bercampur jadi satu.
“dia anakku!, bukan anakmu! Kau tak berhak merebut dia dari ku! Ingat, kau telah membuangnya di pinggir jalan!”. Wanita setengah baya itu terdengar menahan amarah. Entah apa yang dikatakan oleh orang disebeang sana, yang membuat wanita itu menangis dan membanting telepon dengan tangan yang bergetar.
Aku memang masih duduk di bangku SMU kelas dua, tapi kurasa itu usia yang cukup untuk mengetahui sebuah rahasia. Rahasia yang sangat menyiksa, sebuah kenyataan yang membuat aku takut untuk hidup. “kau bukan anak kandung ibu! Tapi ibu sangat menyayangi mu, percayalah!” kata-kata itu membuat aku rapuh, saat itu juga aku tak lagi bertindak menggunakan logika. “aku anak yang tak diharapkan oleh orang tua ku sendiri!” batin ku mengutuk. Aku berlari, terus berlari hingga pelarianku terhenti dirumah Oca. Berlari kerumah Oca saat itu adalah kesalahan terbesarku. Oca tak berada dirumah, saat itu hanya ada Alex yang sedang menikmati minuman alkhohol. Hati ku galut, air mata tak lagi terbendung, aku terpuruk dalam kenyataan pahit, “anak pungut!” gumamku pelan membuat Alex menawarkan pundaknya untukku bersandar dan menyuguhkan minuman terlarang itu pada ku.
Jiwaku berontak, namun hati ini tak lagi sanggup menahan kepedihan itu. Aku meneguknya, menikmati minuman itu seakan-akan aku pernah minum sebelumnya. Malam semakin larut, dinginnya cuaca diluar dan hangatnya suasana didalam membuat aku dan Alex larut dalam pelukan Iblis. Aku tak sadar apa yang terjadi, yang ku tahu saat terbangun, aku tak lagi mengenakan sehelai pakaianpun. Aku semakin galut, ku lihat Alex tak berada disampingku. Pintu berderit terbuka, Oca. Wanita itu mendekatiku, menyodorkan pakaian untukku.
“kau melakukannya? Dengan kakak ku?”
“aku …… takut!!” hanya itu yang bisa ku katakan pada sahabatku itu.
“maaf!! Seharusnya semalam aku dirumah, seharusnya aku bisa mencegah semua ini! Sialan lho Lex!!” terdengar Oca seakan menyalahkan dirinya dan mengutuk Alex.
“Plakkk…”
Aku tersentak, jendela didepanku tertiup angin hingga membantai kusen. Aku berhenti mengingat peristiwa menyakitkan itu. Aku sangat takut menghadapi semua ini, aku malu pada ibu. Bagaimana mungkin aku bisa mengaku padanya bahwa anak yang telah dibesarkannya susah payah ini telah kotor! Bahkan aku malu pada bumi telah mengotorinya dengan darahku ini. Aku benar-benar anak yang tak tahu berterimakasih, setelah aku diangkat, dibesarkan dengan kasih sayang oleh ibu yang bukan ibu kandungku, sekarang aku hanya akan membuatnya terluka dengan pernyataan ku ini.
“Oh Tuhan, masih pantaskah aku hidup bergelimang dosa seperti ini??” batinku pasrah lalu menuruni tangga menghampiri ibu di teras depan.
“ibu maafkan aku! Terimakasih karena telah merawat dan menganggap aku anak mu. Aku sayang padamu ibu!.” Aku memeluk erat tubuh satu-satunya ibu yang ku tahu.
“aku mau kerumah Oca!” lanjutku pamit pada ibu dengan nada yang terdengar tegar walaupun sebenarnya rapuh.
“hati-hati sayang!”
Aku melaju mengendarai Vespa ibu, pikiranku kalut, pandanganku berkabut, tiba-tiba jalanan terasa sepi, tak ada lalu lalang kendaraan, tak ada jeritan-jeritan orang menjajakan makanan dan Koran, sepi…sangat sepi… aku terus melaju, kecepatan semakin bertambah hingga akhirnya ku rasakan tubuh ini melayang dan terlempar jauh, entahlah….ku tak tahu lagi apa yang terjadi.
Saat ini Yang ku tahu adalah aku berdiri tegak menyaksikan ceceran darah dimana-mana, kerumunan orang-orang menyaksikan sesosok tubuh yang terbaring tak berdaya, tubuh dengan mimic wajah yang pasrah, sesosok tubuh yang ditangisi oleh seorang wanita setengah baya. Yang ku tahu adalah aku tak akan membuat ibu terluka lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar